
BATAK.CO – Dalam ritual gaib dukun Batak zaman dahulu kala, ada yang namanya pangulubalang suru-suruan. Artinya, roh penjaga kampong yang bisa ‘disuruh’ ke mana pun dan melakukan apapun sesuai perintah sang dukun.
Bagaimana cara ‘merekrut’ pangulu balang suru-suruan ini?
Konon, manusia untuk korban diambil dari musuh yang tertawan atau diculik dari kelompok/kampung musuhnya. Selanjutnya, tubuh calon korban dikubur ke dalam tanah, dengan posisi berdiri. Hanya kepalanya saja yang kelihatan.
Setelah beberapa waktu, calon korban akan sangat kehausan dan lapar.
Dalam kondisi itu, sang dukun akan berkata: ”Kami akan memberikan makanan dan minuman yang enak menurut kemauanmu, asal engkau mau ke mana pun kami perintahkan pergi”.
Karena haus dan laparnya, calon korban biasanya akan menyanggupi permintaan tersebut. Lalu ia diminta membuka mulutnya agar dapat minum.
Setelah calon korban tersebut membuka mulutnya, ternyata yang dituang ke dalam mulutnya bukanlah air sejuk pengobat dahaga, melainkan cairan timah panas yang sedang menggelegak, sehingga orang tersebut mati seketika.
Itulah ritual yang dilakukan “orang dahulu” untuk membuat penjaga kampung atau sejenis santet pembunuh “musuh” yang di sebut Pangulubalang surusuruon.
Setelah beberapa hari, cairan yang berasal dari lelehan mayat (disebut ”dane”), dimasukkan ke dalam wadah dari tanah (sejenis gentong kecil). Sedangkan daging dan tulang nya digongseng, hingga menjadi bentuk bubuk disebut “pupuk”, disimpan dalam satu wadah lain.
Nantinya, roh yang dikendalikan itu akan disebut “pangulubalang” setelah cairan “dane” dan bubuk “pupuk” dicampur dengan ramuan-ramuan lainnya.
Untuk penjaga kampung didirikan tiga buah batu dengan sudut segitiga di dalam pondok kecil, yang diletakkan di sudut kampung atau di samping gerbang masuk kampung. Setelah dimanterai dan dioleskan cairan dane dan pupuk, inilah yang dipercayai untuk menjaga kampung.
Untuk menyantet musuj, dikumpulkan bahan-bahan berupa tanah, buah enau, dan air. Seluruh bahan tersebut digiling hingga halus, kemudian dicampur sedikit “dane” dan “pupuk” . Ramuan tersebut diberi sajen, dimanterai, dan diperintahkan untuk membunuh musuh yang dituju. Dikirimlah seorang yang berani sebagai kurir untuk menyiram ramuan tersebut, baik di halaman rumah musuh, di samping rumah, maupun di tempat-tempat yang sering dilalui orang yang dituju.
Kegiatan ini dilakukan di Tanah Batak pada jaman dahulu, di mana animisme masih sangat kental. Sata ini, praktek serupa sudah tidak ditemukan lagi di tanah Batak, seiring dengan masuknya agama yang dibawa Nommensen ke tanah Batak.
Denagn masuknya agama, tradisi yang dianggap ‘dosa’, tidak dilakukan lagi. Namun tradisi yang dianggap tidak bertentangan dengan agama terus dipertahankan, demi kelangsungan kebudayaan Batak yang diwarisi dari nenek moyang orang Batak. (dikutip dari punguan sinurat)
Komen Facebook